Penadigital.id - Pemilik Twitter, Elon Musk, menerapkan aturan baru yang membuat heboh jagat Twitter. Aturan baru tersebut mengharuskan pengguna Twitter log in lebih dahulu sebelum membaca Twitter dan membatasi jumlah tweet yang dibaca setiap hari. Para pengguna Twitter yang memiliki akun terverifikasi dibatasi hanya dapat membaca 10.000 tweet, pemilik akun belum terverifikasi hanya 1.000 tweet, dan pemilik akun baru yang belum terverifikasi hanya 500 tweet.
Di tengah kehebohan Twitter akibat aturan baru tersebut, pemilik Meta, Mark Zuckerberg, meluncurkan media sosial baru yang menjadi pesaing potensial Twitter bernama Threads. Aplikasi Threads diunduh 10 juta kali dalam tujuh jam sejak diluncurkan pada Kamis, (6/7) lalu dan dalam waktu kurang dari satu pekan, Threads telah memiliki lebih dari 100 juta pengguna di dunia.
Warganet di Indonesia bukan kekecualian dalam dalam menyambut kehadiran Threads ini. Karena berbasis media sosial Instagram, banyak selebram di Indonesia yang menjadi pengguna baru Threads dan langsung aktif berceloteh.
Banyaknya warganet di Indonesia yang ramai-ramai menggunakan Threads ini dikaitkan dengan fenomena yang disebut dengan Fear of Missing Out (FoMO). FoMO merupakan kondisi dimana seseorang merasa takut akan ketinggalan informasi atau tren yang sedang terjadi di masyarakat. Orang yang mengalami hal ini akan merasa dirinya ketinggalan zaman. Ia merasa orang lain memiliki kehidupan yang lebih baik dari pada dirinya. Kondisi ini sering menerpa kaula muda pengguna media sosial.
Pada kasus ini, banyak milenial yang merasa khawatir akan ketinggalan tren yang sedang berlangsung, yaitu mengunduh dan menggunakan aplikasi Threads. Lantas apakah hal ini akan memengaruhi kondisi psikologi seseorang?
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA Abu Bakar Fahmi mengungkapkan, adanya fenomena warganet ramai-ramai menggunakan media sosial baru menunjukkan bahwa media sosial selama ini telah menjadi bagian dari kehidupan warganet. “Karena media sosial tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat di Indonesia, orang ramai-ramai menggunakan media sosial yang baru. Media sosial seperti ruang sosial dalam hidup kita sehari-hari, seperti kita ramai berkunjung ke pusat perbelanjaan (mall) yang baru dibuka,” ungkap Fahmi.
Fahmi menjelaskan bahwa menggunakan media sosial secara wajar boleh-boleh saja. Media sosial bermanfaat karena dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dan melakukan interaksi dengan orang lain. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah apabila penggunaan media sosial menimbulkan FoMO bagi penggunanya.
“Dalam FoMO terkandung tiga aspek psikologis, yakni pikiran, perasaan, dan perilaku. Pada aspek pikiran, FoMO muncul karena orang merasa membutuhkan informasi baru dan tidak ingin terlewatkan. Pada aspek perasaan, orang yang mengalami FoMO tidak hanya merasa takut tetapi juga cemas, dan kecemasan sering tidak jelas penyebabnya. Dalam aspek perilaku, orang yang mengalami FoMO akan melakukan tindakan yang berupaya untuk tidak tertinggal dan tetap terhubung dengan orang lain. Dalam kasus ini mereka akan ramai-ramai mengunduh dan menggunakan aplikasi Threads,” jelas Fahmi.
Pengajar mata kuliah Psikologi Sosial dan Kepribadian ini menjelaskan, sejumlah penelitian menemukan FoMO berkaitan erat dengan perilaku yang tidak sehat terkait penggunaan teknologi dan media sosial, misalnya penggunaan smartphone bermasalah, gangguan penggunaan internet, dan adiksi media sosial. FoMO juga berkaitan dengan sejumlah afek negatif seperti cemas, depresi, dan rasa bosan. Orang yang punya FoMO tinggi juga cenderung rendah kepuasan hidupnya.
Jika warganet merasa dirinya memiliki FoMO yang tinggi, Fahmi menyarankan agar mengatasi FoMO dalam tiga aspek juga. Pertama, pada aspek pikiran, mulai berpikir realistis bahwa kita tidak harus menjadi orang yang serba tahu dan terdepan dalam mendapat informasi. “Tidak jarang informasi yang membuat kita merasa FoMO adalah informasi yang tidak penting,” ungkap Fahmi, “Ada banyak informasi dan pengetahuan di luar sana yang lebih penting bagi kehidupan dan masa depan kita dan untuk mendapatkannya butuh belajar secara bertahap dan tidak perlu dipenuhi segera”.
Kedua, pada aspek perasaan, jangan berlebihan dalam mencemaskan sesuatu, terutama kecemasan yang tidak nyata bahkan bersifat neurosis. “Kita cemas karena kita melakukan pembandingan sosial (social comparison) dan orang lain selalu ditempatkan di atas kita: lebih baik, lebih tahu, dan lebih beruntung. Jadi untuk mengurangi kecemasan, berhentilah melakukan pembandingan sosial yang tidak perlu,” terang Fahmi.
Ketiga, pada aspek perilaku, kurangi aktivitas terhubung di media sosial. FoMO terjadi karena adanya hambatan dalam memenuhi kebutuhan saling terhubung. “Kita merasa butuh terhubung dengan orang lain sehingga kita FoMO, padahal itu keterhubungan yang bermasalah. Untuk itu, agar terhindar dari FoMO, batasi penggunaan media sosial dan bangun interaksi sosial yang berkualitas dengan orang lain, bukan di dunia maya, tapi dalam kehidupan nyata sehari-hari,” pungkasnya.
Uhamka sebagai Perguruan Tinggi telah terakreditasi Unggul yang hingga kini telah memiliki 9 proggram studi dan sekolah pascasarja dari jenjang S1, S2, dan S3 siap mencerdaskan anak bangsa. Mari bergabung bersama Uhamka Uhamka dapat mengakses pada tautan https://uhamka.ac.id/reg/
0 comments